Saya merasa bahwa penyesalan selalu berbuntut panjang setelah saya menyadari bahwa diri saya telah menceritakan sesuatu kepada seseorang yang kemudian saya rasa dia bukan orang yang tepat untuk mendengarkan cerita itu. Rasanya jengkel ketika dia memandang sebuah cerita bukan dalam persepsi yang pas dan tidak bisa juga dianggap komentar yang paling bisa didengarkan. Rasa kesal dan jengkel itu begitu mahal harganya, saya katakan begitu mahal karena kemampuannya yang begitu akurat daam hal menyedot emosi yang berpotensi menghadirkan ledakan. Semestinya menahan mulut dari pancingan lebih gampang ketimbang menahan jengkel kan ya? Hhh.
Saya akui bahwa saya seringkali menekankan bahwa mereka ini tidak tahu apa-apa tentang dunia saya. Jadi menginginkan kelegaan ngga mesti ditempuh dengan jalan menceritakan sesuatu secara face-to-face. Saya seringkali malah lebih lega ketika ngga cerita apa-apa ke siapa-siapa. Jadi ngga perlu terbeban dikasihani ataupun tanggapan salah yang menjengkelkan. Bahwa apa kata orang selama saya ngga melakukan hal yang salah, saya ngga perlu mempedulikan hal itu. Tahu belum tentu bisa mengerti, sementara yang seharusnya bisa mengerti belum tentu mendapat kepercayaan untuk tahu. Dan Tuhan akan selalu menjadi keduanya, tahu dan mengerti.
No comments:
New comments are not allowed.