from Sakura's mim |
Bu,
hari yang kemarin itu aku menyapamu berbekal arah. Maaf kalau sebelum-sebelumnya aku tidak berada disitu. Salah satu sebabnya adalah aku takut menangis dan membebani. Mungkin tanpa aku tahu, perhatianmu masih tertuju pada aku disini. Aku takut menyusahkan, meyakini saja bahwa do'apun akan sampai dimana saja tempat yang kupilih untuk kupanjatkan.
Bu,
aku tidak pernah berziarah sebelumnya, tidak pernah mengantar seseorang yang kukasihi ke peristirahatan terakhirnya. Lagi-lagi aku takut menangis. Bisa jadi orang melihat aku dengan dua sisi. Bahwa aku nyaris tidak punya emosi dan selalu sedatar ini. Aku tidak menangis ketika emak meninggal, bahkan juga engkau... bu. Itu dihadapan orang. Aku berbeda karena aku menangis diam-diam dan tanpa isakan. Cuma ada linangan air jatuh dari mata yang basah, cepat kering diserap bantal. Aku sering begitu, menangis sambil memeluk bantal, sampai ketiduran dan terbangun dalam keadaan mata bengkak. Lantas aku berlama-lama dikamar untuk bangun siang karena malu, karena itu akan menunjukkan pada siapapun bahwa aku telah menangis.
Bu,
aku menyelipkan beberapa jam ini untuk menjengukmu dan tante, dan emak. Aku pulang sebentar untuk satu keperluan dan aku tidak tahu kapan lagi akan pulang. Sepertinya akan sangat lama lagi, bu. Aku datang dengan adik sepulang sekolahnya, terburu-buru karena sebentar lagi gelap dan besoknya aku harus sudah pergi lagi. Kami bahkan kelewatan menyiapkan bunga untuk ditebar diatas baringanmu. Jadi kupetik bunga-bunga halaman yang sedang mekar itu, getahnya melengketi tangan karena saking buru-buru. Aku bahkan tidak membasahinya dengan air, atau membawa air untuk menyirami bunga-bunga itu ditempatmu.
Bu,
malu rasanya karena kami tidak segera bisa menemukan pembaringanmu. Susunan peristirahatan ini membingungkan dan setiap saat aku khawatir tidak bisa membedakan peristirahatan dengan pijakan. Ah sungguh rentan. Tante yang pertama kami temukan, kemudian ibu dan terakhir emak. Papanmu sulit dikenali mataku karena nama yang tertulis tersamar dengan titik-titik itu... belum huruf ukiran atau cat timbul yang gampang terlihat. Pastilah eyang belum mengganti papanmu.
Ini sudah bertahun-tahun bu,
tapi kami rupanya masih terbius rasa kehilangan itu. Aku nyaris menangis kalau mau jujur, tapi keras-keras kutahan itu. Lagi-lagi aku takut menyusahkanmu, bahkan jika aku benar-benar sedang kesusahan atau kehilangan. Adik terisak-isak dan mukanya merah, kupeluk bahunya dan merayu dia untuk berhenti. Dia bergumam rindu padamu dan dia tidak paham mengapa saat-saat ini terasa begitu berat. Dia sudah banyak berubah sejak kautitipkan padaku yang dulu itu. Sudah bukan lagi remaja menyebalkan yang semaunya sendiri dan tukang ngambek. Kehilanganmu adalah semacam training menjadi dewasa lebih cepat bagi dia, juga bagi aku. Waktu dan keadaan jelas-jelas tak mau menunggu dan kami terus tumbuh dengan cara seperti ini. Kadang ada pikiran itu, bahwa melalui proses pernah memiliki dan kehilangan lebih sulit ketimbang tidak pernah tahu bahwa kita memiliki.
Bu,
saat itu ini kami. Namun, saat ini cuma aku. Sudah begitu jauh jaraknya dari peristirahatanmu, kepingin mengobrol saja. Tidak mungkin aku ngomong pada udara dan tidak mungkin aku berbisik dihati. Itu menyakitkan. Aku masih menghindari menangis karenamu, kuusahakan dan ini masih tentang ketakutan yang sama. Kekhawatiran menyusahkanmu yang semestinya sudah bahagia di tempat yang aku tidak tahu dimana. Mestinya kau tidak perlu lagi terbebani kami disini, kau juga sudah melalui apa yang menjadi bagianmu dan kau layak terbebas dari itu kemudian. Kau adalah sebagian kecil yang tahu bahwa aku sebenarnya begitu cengeng, bahkan meskipun hanya jika mendengarkan kisah sedih yang digaungkan lagu aku bisa cuci muka dengan air mata.
Bu,
rindu tidak pernah jadi semengganggu ini. Sementara pilihanku cuma menghamburkan semuanya lewat yang saat ini tengah kulakukan.
Oh ya, dan sebentar lagi Idul Adha. Tidak, aku tidak akan berkata semestinya aku masih bisa pulang dan menemuimu. Kalau pulang ditandai dengan berbaring di pangkuanmu maka aku tidak bisa pergi kemana-mana meskipun aku punya kertas berharga yang bisa kutukar dengan selembar tiket paling mahal yang dimiliki perusahaan penerbangan manapun.
Bu,
ada banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi biarlah nanti-nanti kuuraikan, semuanya terlalu panjang karena yang telah kulalui memang sudah sedemikian jauh. Jadi dengan ini, kusampaikan bahwa kami baik-baik saja. Semoga ini melegakanmu. Siapa tahu kau khawatir dengan apa jadinya kami tanpamu.
Sampai saat ini belum ada wangi yang lebih menenangkan ketimbang aroma yang kuhirup ketika aku sedang kepingin manja dan berbaring di pangkuan hangat milikmu.
Bu,
Lucunya... meskipun aku sudah mengobral kata hingga sepanjang ini, membuat jariku lemas dan mataku lelah... aku tetap saja masih begitu rindu.
Dan aku tidak sedang menangis, jika kau ingin tahu.
~
alur2 tulisannya mengindikasikan akan kerinduan, yg ngebcanya serasa terhanyut akab kerinduan itu yg slalu muncul,,:)
ReplyDeletesemoga ibu membaca tulisan ini...
ReplyDeletemother,
ReplyDeletemakes us strong..
(evEn she's gonE)
i listen to you.... :)
ReplyDeleteaduh neng ninda, ini tulisan based on your own experience? ibu-nya ninda sudah gak ada?
ReplyDeletehuaaaa jadi kangen si mami :((((
tetesan kata yang begiu indah sebagai obat rindu ibu.
ReplyDeletesalam BW ya Nin
*tarik nafas* aku masih punya ibu tapi aku jauh dari Beliau tapi rinduku sama sepertimu kawan.
ReplyDeletememang begitu mba, bobotnya tidak sama dengan satu pertemuan dibanding ratusan tulisan.....
ReplyDeletesalam, semoga rindunya terlepas bebas terbang, mengaitkan keujung rangkaian kasih Ibu.
Membaca tulisan tentang Ibu, selalu membawa keharuan tersendiri...
ReplyDeleteungkapan kata yang begitu mendalam maknanya..
ReplyDeleteuntaian kata merindu pada seseorang yg bnr2 kita cintai kan tersampaikan meski tak nyata
ReplyDelete