Ngomong-ngomong soal hijrah, baruu aja saya mengalaminya. Hijrah dalam makna
lugas: pindah tempat. Yup, per 1 November 2014 kemarin saya hijrah dari
Jepara ke Semarang. Dari anak rumahan jadi anak kost-an. Kenapa?
Bukannya udah enak kerja di Jepara, deket sama rumah, sama keluarga,
bisa pulang tiap hari, gaji nggak kepotong biaya hidup?! Hampir semua
orang komentar gitu.
Sebagian kaget, bahkan menyayangkan keputusan saya
tersebut. Tapi saya telah memilih, Bismillah, saya yakin ini jalan dari
Allah.
Lingkungan kerja saya di Jepara masih sangat asing dengan
hijab syar'i. Terlalu aneh di mata mereka ketika ada anak muda seumuran
saya, kerja di pabrik, pakainya rok dengan atasan longgar dan jilbab
lebar. Mirip emak2 dan guru TPQ kata mereka. Teman2 saya sebagian juga
pakai jilbab, tapi ya jilbab yang masih sangat sering kita jumpai di
masyarakat kita. Hanya menutupi kepala, tapi nggak benar-benar menutupi
aurat. Apa saya jadi goyah? Ya, saya goyah. Tidak hanya goyah, saya
sudah sempat benar-benar 'pindah' jalur. Saya sempet pakai celana saat
pergi kerja, meskipun bukan celana jeans. Jilbab saya mengecil, dan
mengikuti model2 jilbab modis.
Tapi Alhamdulillah, hidayah Allah kembali
menyentuh hati saya. Semakin hari saya merasa semakin sadar bahwa saya
nggak nyaman dengan itu. Lalu perlahan, dengan menebalkan telinga atas
macam-macam komentar teman2, saya kembali memakai rok dan mengulurkan
jilbab saya. Soal sholat? Jam kerja membuat kami hampir nggak
memungkinkan untuk sholat tepat waktu.
Iman saya yang belum mapan merasa berat sekali menempuh jalan ini
sendirian. Lalu saya berdoa pada Allah untuk ditempatkan di lingkungan
yang jauh lebih baik. Lalu kesempatan itu datang. Saat pada suatu hari
seorang teman mengirim link lowongan di sebuah Yayasan Badan Wakaf yang
juga membawahi Universitas tempat saya kuliah dulu. Ketika membaca link
tersebut, saya berdoa, "Ya Allah, jika bekerja di situ bisa menjadikan
saya hamba yang lebih baik di mata-Mu, mudahkanlah...", lalu malamnya
saya sholat hajat dan sholat istikharoh. Saat mulai menjalani proses
seleksi, saya pesimis. Jumlah pendaftar 150 orang lebih, sedangkan yang
dibutuhkan hanya 4 orang.
Belum lagi panjangnya proses seleksi membuat
saya harus sering ijin nggak masuk kerja. Dan, Subhanallah
walhamdulillah, Allah seperti memudahkan segala sesuatunya. Dari ijin
Ibu yang kali ini cukup mudah saya dapat, padahal sebelumnya beliau
nggak pengen saya kerja jauh dari rumah. Lalu atasan di tempat kerja
lama yang seperti lapang dada sekali membiarkan saya berkali-kali nggak
masuk kerja -- padahal kasus-kasus sebelumnya nggak kayak gitu. Berbagai
kemudahan tsb saya artikan sebagai salah satu tanda bahwa Allah ridho
dengan usaha saya ini. Saat interview terakhir saya ditanya alasan saya
mau kerja di yayasan ini. Padahal bisa dibilang gajinya lebih kecil.
Padahal lagi, kalo di sini masih harus kepotong biaya hidup juga, kan.
Saya menjawab, 'Karna saya ingin bekerja di tempat di mana dunia dan
akhirat saya bisa bersinergi dengan baik'. Ah, semoga jawaban tersebut
bukan jawaban naif saya semata :')
Di sini tiap adzan dhuhur dan
ashar berkumandang kami dipersilakan untuk segera menuju masjid. Bahkan
jika ada yang tak kunjung berdiri, atasan akan segera mengingatkan,
'Ayo, sudah waktunya sholat, tinggalkan dunia...'. Lalu setiap pagi
sebelum bekerja - selama satu jam-- kami difasilitasi untuk menambah
ilmu agama. Senin kami mengkaji hadist, selasa kajian dengan tema
bervariasi, Rabu kami belajar menerjemahkan Al-Qur'an dan kitab kuning
dengan metode tamyiz, kamis tahsin sholat, dan Jum'at tahsin Qur'an.
Soal pakaian? Jilbab syar'i sangat digalakkan di sini. Lalu, adakah
alasan untuk saya nggak bersyukur sedangkan di luar sana banyak sekali
saudara yang tertatih menjaga dirinya di jalan kebaikan di tengah
ganasnya dunia kerja?!
Saya tau hijrah saya belum boleh berhenti
sampai di sini. Tapi hijrah yang telah saya jalani satu bulan lebih satu
minggu ini, semoga menjadi awal bagi hijrah-hijrah saya selanjutnya.
Aamiin.
visit http://rosa-alrosyid.blogspot.com/
~
subhanallahi walhamdulillah
ReplyDelete