Saya keluar rumah ketika berumur 17 tahun untuk merantau ke kota orang demi pendidikan. Kali yang pertama, untuk mengejar bimbingan belajar intensif dan ujian penerimaan mahasiswa baru di universitas terkemuka. Kemudian pindah kota rantauan, ketika telah diterima di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur.
Kota asal saya kecil saja, sering saya mendapat komentar bercanda atau mungkin juga bernada sumbang dari teman-teman yang berasal dari kota dengan peradaban yang menurut mereka lebih tinggi dari kota saya. Kota saya tidak memiliki bioskop, apalagi mall. Toserba saja rasanya sudah sangat mentok sebagai icon jalan-jalan anak muda.
Iya, kota saya memang kecil sehingga sering diledek dengan sebutan dusun karena tidak ada di peta menurut beberapa orang teman. Tapi saya tidak pernah memandang ledekan itu sebagai sesuatu yang serius. Kalaupun saya memang berasal dari desa atau orang desa ya tidak masalah. Tidak pernah kota asal saya menjadi sesuatu yang memberatkan bagi saya, tidak pernah saya membela dengan kalimat yang membabi buta untuk ledekan itu. Kota saya memang kecil, namun saya selalu menyukainya karena selalu menjadi tempat yang sempurna untuk pulang.
Kota saya yang kecil juga seimbang dengan biaya hidupnya yang murah, di kota rantau saya rasakan biaya hidup lebih tinggi dari kota asal. Antara memang benar-benar demikian mahal, juga biaya-biaya mendadak yang muncul dari perkuliahan. Itulah yang membuat saya merasa setiap hari bisa terasa seperti tanggal tua dengan tugas yang menumpuk, buku yang harus dipunya, uang kos yang berpotensi terus naik dan urusan perut yang seringkali tidak bisa berkompromi. Belum kalau terlalu lelah membagi waktu antara status mahasiswa dan anggota organisasi, sakit di perantauan itu selain jauh lebih menyakitkan dan sering terasa bahwa kita cuma bisa mengandalkan diri sendiri, kita juga akan sangat mengerti arti dari keluarga.
Orang tua saya selain percaya bahwa universitas negeri adalah pilihan terbaik karena namanya yang sudah dikenal orang, juga biaya pendidikannya yang murah. Orang tua saya keduanya guru dan menyambi berbisnis jual beli kendaraan bermotor, beternak ayam dan sebagainya. Orang tua saya pekerja keras dan berasal dari keluarga yang bukan keluarga kaya meskipun kami tergolong keluarga mampu, itulah yang saya rasa menjadi alasan kuat mengapa mereka demikian keras mendidik anak-anaknya.
Uang saku saya tidak pernah berlimpah, masih harus dibagi dengan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan perkuliahan. Untuk membeli barang-barang yang saya inginkan, seringkali saya baru bisa mendapatkan itu setelah menerima pembayaran honor tulisan dari majalah. Ketika saya pulang ke rumah, si mami sering membawakan kebutuhan rumah tangga dan hidup sehari-hari. Merantau jadi terasa tidak terlalu berat. Buat saya saat itu yang penting perut makan dengan semestinya, kuliah jalan. Sudah itu saja. Ajakan teman untuk jajan dan nongkrong memang sering saya tolak, agak sedih sih tapi saat itu rasanya masih enteng saja. Tidak pernah hati saya susah berlarut hanya karena itu.
Sampai sesuatu yang besar dalam hidup saya terjadi. Mami saya tiada, tidak cuma rumah yang terasa berbeda, hati kami limbung dan seperti kehilangan pijakan. Saya tidak pernah menangis histeris di hadapan keluarga, namun hati saya sudah kebas oleh rasa kehilangan. Seringnya blog ini menjadi catatan bagaimana hari-hari saya berjalan sejak beliau pergi. Sungguh itu tidak mudah.
Keluarga kami terpuruk untuk beberapa waktu, banyak yang berubah dan perubahannya tidak menyisakan jeda untuk kami agar menjadi terbiasa. Mami adalah penyeimbang bagi rumah kami, Ayah yang seorang diri merasa sangat kehilangan dan malah jadi berkali lipat lebih keras dari sebelumnya dalam mendidik anak-anaknya. Sensitif dan gampang marah. Kerapkali sedikit interaksi yang sebenarnya biasa, bisa berujung usiran untuk pergi dari rumah dan uang bulanan yang kembang kempis bahkan berhenti sama sekali.
“Mengapa tidak meminta maaf?” tanya seorang sahabat ketika saya bercerita.
Saya terdiam.
Setiap kali beliau marah, diawal-awal ego saya sebagai seorang remaja belia membuat saya enggan meminta maaf karena merasa tidak salah. Namun masa itu sudah berlalu. Setiap kali beliau marah karena interaksi yang sebenarnya sangat standar dan tidak patut menjadi sebab kemarahan, saya selalu minta maaf. Meskipun setiap kali kemarahan itu pecah dan saya minta maaf, masa kemarahan masih berlangsung lama bisa hingga hitungan minggu dan bulan. Selama itu saya tidak diterima di rumah, selama itu pula pasokan uang bulanan saya berhenti. Padahal saat itu saya sedang menjalani semester-semester terberat sebagai mahasiswa. Dimana kebutuhan akan uang berlipat lebih besar dari biasa.
Ayah saya bekerja keras dan pencapaian kualitas hidupnya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Karena ayah terkenal mampu, teman-teman saya suka merasa aneh dengan pola hidup saya yang berhemat-hemat. Alih-alih menganggap saya benar sedang hemat karena tidak punya uang, mereka justru menduga saya pelit. Mereka tidak tahu bahwa saya benar-benar dalam kondisi tidak tahu bagaimana nasib diri saya dalam seminggu ke depan.
Meminta bantuan saudara Ayah jelas tidak mungkin karena beberapa hal yang intinya, mereka bukan orang yang bisa diminta tolong. Dari saudara mami saya tidak bisa mengharapkan banyak meskipun saya mendapatkan bantuan juga sesuai ketersediaan mereka, tapi mereka juga memiliki keluarga yang butuh berjalan segala kebutuhannya.
Beasiswa? Bagaimanalah saya bisa mengharapkan beasiswa jika slip gaji dan tagihan kebutuhan orang tua saya yang cukup besar ada di tangan petinggi kampus? Mana mungkin mereka mau memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang orang tuanya dinilai lebih dari berkecukupan?
Saya membulatkan tekad untuk melamar pekerjaan dengan modal ijazah seadanya, apa saja, asalkan dibayar. Bahkan penjaga warnet dari larut malam hingga dini hari pun pernah hampir saya lamar untuk menjadi mata pencaharian. Iya, hampir. Namun tidak, untungnya karena honor tulisan yang akhirnya terbit dan penghasilan menulis melalui blog yang menyelamatkan saya. Cukup besar bahkan untuk hidup dua bulan atau lebih jika benar-benar dihemat di kota rantau saya. Jadi bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan blog ini jika dia pernah menyelamatkan saya berkali-kali dalam kondisi sulit?
Pada saat itu sekitar tahun 2009 hingga 2012, belum ada Matahari Mall dengan promo aneka macam yang bisa membuat semua orang hemat dan bahagia, karena hematnya jelas juga tanpa sengsara. Jadi ya harus tricky. Berikut ini tips-tips saya untuk bertahan hidup di kota perantauan. Hemat tanpa sengsara. Memang saya sangat-sangat berhemat saat itu, tapi trik-triknya memang saya atur dengan sedemikian rupa tanpa harus membuat diri sendiri menderita.
Kenapa?
Karena anak kos dan perantau haruslah sehat dan bahagia, bila sakit akan lebih berat lagi di kantong kempes kita. Ya kan?
Tips Sehat dan Bahagia ala Anak Kos
Poin satu: Panduan dasar memilih tempat kos
#1
Pilihlah kos yang menyediakan fasilitas dapur dasar seperti kompor, tempat untuk cuci piring dan perlengkapan masak sederhana
#2
Bawa alat memasak praktis dari awal merantau, alat penanak nasi contohnya. Ini penting untuk bertahan hidup disaat benar-benar tongpes alias kantong kempes. Lebih hemat jika kita memasak sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari. Lebih hemat lagi jika menggunakan perlengkapan memasak listrik yang free charge, atau minimal charge rendah untuk perbulannya. Kalau kepepet alat penanak nasi bisa juga lho dipakai untuk memasak yang lain seperti sop atau tumisan sederhana. Jangan lupa sediakan perlengkapan makan seperti piring, gelas dan sendok garpu, jangan sampai begitu masakannya matang kita malah makan langsung dari pancinya.
pic source: doodled by me |
Poin dua: Tips 'Ngirit' nan Sehat - Cerita Tanggal Tua
#1 Cerita selai di tanggal tua
Selai yang biasanya tinggal sisa-sisanya di toples amat sayang untuk dibuang ke tempat sampah begitu saja. Walau hanya sedikit tapi masih bisa berguna disaat-saat terakhirnya lho. Sendok sedikit air panas, sekitar satu sendok teh dan gunakan untuk mengencerkan selai yang tersisa, oles diatas roti. Aman. Rotinya beli yang merk lokal saja, lebih murah dan sama enaknya. Kalau selai sudah habis dan ibu kos kita baik hati, minta aja sejumput gula buat taburan roti. Rasa rotinya jadi terbantu untuk sarapan saat tanggal tua. Lumayanlah, tidak seret.
pic source: doodled by me |
Tidak ada sisa anggaran untuk membeli gas di kantong? Mengidam roti bakar tapi harganya setara dengan biaya makan sehari dengan kreasi sendiri? Coba oles roti tawar dengan selai dan mentega, press dengan setrika di atas tatakan kayu atau piring kaca datar. Setelahnya jangan lupa bersihkan dan lap setrika. Roti bakar renyah tidak kalah dari buatan cafe siap dinikmati.
pic source: doodled by me/ iron pic: windows clipart |
Mengkonsumsi mie instan memang tidak boleh sering-sering, saya hanya makan mie instan saat benar-benar kepepet saja atau sedang pengin. Bahan makanan yang seharga mie instan yang bisa diolah sendiri soalnya juga banyak. Jika masih ada persediaan gas dan minyak goreng, saya suka membuat mie ala malaysia dengan mie instant goreng, telur, bumbu dan taoge ataupun variasi lainnya misalnya martabak mie. Namun jika dompet sudah sangat tipis dan cuma ada persediaan mie instan, saya memasaknya dengan alat penanak nasi.
#4 Cerita buka puasa di tanggal tua
Tanggal tua jika masih dalam bulan puasa memang jadi relatif longgar, setidaknya bagi saya. Bermodalkan ponsel ajakan ngabuburit bersama teman kuliah atau organisasi, sambil menyelam minum air, bertebaran banyak tajil gratis di daerah perkampungan sekitar kos dan di lampu merah yang merubah muka lemas seharian puasa jadi antusias. Tajil gratis adalah salah satu hal yang menjadi penyelamat saya di tanggal tua.
#5 Cerita tahu tempe di tanggal tua
Masakan tempe dan tahu bagi saya adalah salah satu alternatif masakan sehat yang murah tanpa harus selalu lari ke mie instan. Tempe dan tahu sering saya masak menjadi tumisan atau gorengan dengan sambal cabai hijau. Di tanggal tua, saya memasak tempe dan tahu dalam konsep tumisan ala-ala yaitu dengan memotong dadu, memasukkan ke alat penanak nasi bersama dengan air putih dan bumbu-bumbu dapur kadang dibubuhi kecap. Saya masak hingga air surut dan tempe tahu matang bersama bumbunya. Saya pindahkan masakan yang sudah jadi ke piring, bersihkan panci kemudian menanak nasi. Makanan ini bisa kita konsumsi dengan hanya mengalokasikan dana sekitar sepuluh ribu rupiah untuk 3 kali makan.
#6 Cerita nasi sambal di tanggal tua
Cabe adalah item yang harus selalu ada dalam kotak penyimpanan bumbu saya. Kalau sudah ada tanda-tanda mulai layu dan berpotensi busuk, segera saya akan mengolahnya menjadi sambal agar tidak mubazir dan enak dikonsumsi. Ulekan dan cobek biasanya saya pinjam ibu kos jika beliau sudah selesai menggunakannya untuk memasak. Lauk bisa apa saja sekadar dadar telur, gorengan tempe tahu atau sosis tepung paling apes kerupuk jika gas dan minyak goreng sudah habis sebelum akhir bulan. Sosis tepung goreng adalah salah satu makanan praktis yang sering saya masak untuk bekal ke kampus. Berupa sosis yang dipotong-potong kecil dan dicampur adonan tepung berbumbu kemudian digoreng. Enak dan jauh lebih hemat dibanding sosis yang digoreng begitu saja, dimakan dengan nasi hangat.
#7 Cerita tugas di tanggal tua
Kalau budget masih bisa menjanjikan esok, biasanya saya lebih memilih untuk mengerjakan tugas kuliah dengan berburu wifi sejam dua jam di kampus karena tempat yang strategis untuk mendapatkan sinyal wifi justru kurang nyaman. Tanpa sandaran membuat punggung saya pegal, belum lagi banyaknya nyamuk dan angin kencang. Sementara jika masih ada kebutuhan tugas yang belum terselesaikan, saya lebih suka mengambil paket internet malam hingga pagi hari bersama beberapa teman kos. Namun di tanggal tua, sweater dan krim anti nyamuk adalah sahabat terbaik untuk berburu wifi gratis di kampus hingga malam. Dengan mengorbankan waktu tidur siang dan bahkan hari libur. Berangkat dengan penuh tekat memanggul ransel yang diberati laptop, buku catatan dan buku teks kuliah. Tidak apa harus rela berbagi sinyal wifi yang sering kumat melambat kecepatannya dengan banyak mahasiswa lain. Yang penting besok masih bisa makan dengan layak *kepalkan tangan bentol-bentol bekas gigitan nyamuk*.
#8 Cerita diskon di tanggal tua
Irit setiap hari dan super irit di tanggal tua membuat saya jadi menyukai diskon. Ah ya memangnya ada wanita yang tidak mencintai diskon? Namun kerap kali saya memanfaatkan diskon cuci gudang di supermarket terdekat karena produknya akan kadaluarsa dalam jangka waktu satu minggu seperti makanan kaleng, minuman botolan dan sebagainya. Lebih dari lumayan untuk dijadikan menu makanan sebelum batas tanggal kadaluarsanya, yang penting cepat-cepat diolah atau dimasak saja. Setiap ada diskon saya jadi happy dan memanfaatkan kesempatan tersebut. Diskon juga adalah penyelamat saya dalam kondisi terlunta menjadi perantau di kota orang dengan status mahasiswa dan bermodalkan honor menulis lepas. Ketika saya sedang tidak bisa benar-benar mengandalkan seorangpun untuk membantu saya kecuali Allah yang maha memberi pertolongan dalam kondisi saya.
Belum lama ini saya menonton video Budi dalam #JadilahSepertiBudi yang bisa berbahagia menikmati diskon belanja dengan cara semudah itu, modal wifi gratis dan klik-klik saja di Matahari Mall.
Andaikan waktu itu sudah ada Matahari Mall tentu saya akan seperti Budi. Tentu saya tidak perlu rebutan produk cuci gudang di supermarket bersama para ibu-ibu, tidak perlu juga kerepotan membawa pulang barang belanjaan dengan berjalan kaki sampai kos karena barang belanjaan yang dibeli di Matahari Mall akan langsung diantar kurir ke kos. Dan pastinya tidak perlu menunggu hingga masa diskon cuci gudang, saya bisa menikmati diskon besar setiap bulannya.
Kalau sekarang bahkan sejak tahun lalu, sebagai seorang ibu rumah tangga yang tetap mencintai diskon sebagai salah satu parameter kebahagiaan, saya selalu bisa jadi seperti Budi yang memanfaatkan diskon besar yang diberikan oleh situs e-commerce tersebut.
Ooo begini to kalo kamu gak ada duit itu wwkwkwkw...
ReplyDeleteBtw, selai+roti+setrika? jadi apa hahaha Absurd :))
rotinya di press pake setrika jadi roti bakar :)
DeleteKita senasib ya mbak ternyata, sama2 ditinggal mama pas masih kuliah..
ReplyDeleteAku seumur-umur ngekos gak pernah dapet takjil gratis.. haha,padahal udah keliling lampu merah demi lampu merah, :(
hm banyak lho padahal :) coba lagi mungkin?
DeleteI feel you mba Nin, tapi jelas tak seberat yang mba alami. Salut dengan perjuangannya. :)
ReplyDeletehai sil, ah kan kita sama2 pernah jadi anak kos yang tinggal di malang :)
Deletekamu semangat ya
jadi inget masa2 jd anak kos. sukses ya lombanya... ^^
ReplyDeletevote for me dong mbak elok :))) hihi aamiin
DeleteLengkap banget nind, nomor eneeem hahaaa, tapi sambel aku lagi membatasi iniiii..tempe mah ngga bisa aku berpaling darinya selalu belanja si doi (tempe) :)
ReplyDeleteohiya mbak ciy kan busui ya :)
Deleteanak kos kalo masa "paceklik" itu memang ngenes. dulu pernah mi sedap goreng sebungkus buat makan pagi siang sore :D
ReplyDeleteuntungnya ibu kos peka sama nasib anak kosnya, jadi kadang dikasih nasi dan lauk kalo tanggal tua atau pas tanggal muda tapi belum dapet kiriman.
aku lebih milih makan kangkung dan tempe seharian Mil, jarang makan mie. yang penting harus sehat :) kalo sakit repot
DeleteHaduh jadi inget zaman kost dulu hehe. Tempat kost ku dulu nggak boleh masak2 kecuali goreng telur dan bikin mie instan. Jadi aku rantangan, diirit-irit buat makan sehari :D
ReplyDeleteMbaaaak, dulu aku keseringan masak mie instan pakai magicom juga :v
ReplyDeletebelum pernah jadi anak kos... tapi
ReplyDeletepernah cuma 1 bulan ajaaa...
paling ngenes makan mie instan berlarut2 wkwkwk
Eh takjil gratis, aku jadi inget waktu masih kerja dulu. Kantorku nempel sama hotel yang terkenal islami dan punya mesjid yg bisa diakses umum. Kalo lg bokek, aku dan temen seperjuangan yg sama2 bokek buru2 kesana sebelum bukapuasa. Ngarep takjil. Hahahahaha.
ReplyDeleteAtau saat bokek, kita makan di tenda sop kambing+sate, trus minta nambah kuahnya semangkok lagi. Huahahaha
*tutupmuka
dari semuanya hampir semua udah pernah gw lakuin wkwkwkk.
ReplyDeletepling konyol nyoba beli sarden kalengan tapi rasanya gag sesuai dengan ekspetasi wkwkwkk