Melalui obrolan pesan pendek di ponsel, seorang teman dekat saya cerita mengenai kondisi perasaannya.
"I just can't believe that, am I fallin' in love with him or what?"
"...masalahnya sekantor gitu,"
Lelaki yang dimaksud teman dekat ini adalah teman satu kantornya, sementara kantor teman saya memiliki peraturan dimana pegawainya tidak boleh menikah dengan sesama pegawai dalam satu naungan kantor dan cabang yang sama. Jika menikah maka salah satu harus berhenti.
"Ya emang gitu kan... gimana lagi, makin dewasa kita makin jarang punya waktu untuk kemana-mana. Palingan dunianya kantor-rumah-mall melulu. Sementara nggak mungkin kan kita bakalan kenalan sama cowok di mall ala cabe-cabean,"
Dia ketawa, "Ngasal ah..."
"Tapi ngomong-ngomong kan dia masuk tuh kriteria elu. Tampang boleh, kerjaan dan pemasukan bisalah ngintip-ngintip orang sekantor ini. Single yang paling penting, bukan suami orang. Status jelas kan sekantor nggak mungkin dong ada marital status tersembunyi, gimana tunjangan dan plafon kesehatannya? Orangnya juga kayaknya nggak macem-macem sih ya dari cerita lu. Susah dibayangin pan nggak kenal juga nih," saya nyoba mengingat-ingat detail cerita si teman mulai dari dia pertama kali menyebut lelaki itu dalam obrolan kami. Menurut saya sih si lelaki itu baik-baik aja, nggak genit, over tebar pesona dan pecicilan. Lelaki yang kemungkinan bisa diandalkan untuk masa depan.
"Terus, seharusnya muncul dilema kayak gitu kan kalau perasaan berbalas ya nggak sih?"
"Jahat lu!" dia ketawa.
"Haha bukan jahat, tapi logis aja. Kalau dia nggak ada tanda-tanda ngerasa hal yang sama ya ngapain kan lu dilema gara-gara kalau nikah salah satu harus resign?"
Saya nginget-inget lagi kapan si teman mulai membawa lelaki ini dalam pembicaraan kami, kayaknya baru beberapa minggu terakhir deh.
"or he's the one who loves you and confess first?" saya nanya lagi karena dia belum jawab. Dia cuma ketawa melalui emote berbaris yang ditujukan kepada saya, nampak belum mau cerita lebih lanjut kayaknya. Dan saya juga enggan menggali-gali kalau yang bersangkutan masih belum pengin cerita, meskipun dalam hati kepo parah sih.
"Gimana ya ceritanya. Bingung," dia kirim emote dahi berkerut.
"Kalau memang dia udah jelas gimana ke kamu, beneran serius mau nikah dan tinggal elu-nya aja yang tertarik juga tapi masih nggak jelas menentukan sikap... inget-inget deh kemarin-kemarin waktu kamu baper tiap ada teman yang nikah. Inget-inget deh kapan taun waktu orang yang lu harepin itu malah cuma ninggalin harepan doang kemudian nggak berkabar. Lu tahu nggak?"
"Apa?"
"Elu tuh kayak orang yang suka kopi, doyan minum kopi... tapi lu nggak pernah mau ngeracik sendiri campurannya. Selalu memercayakan racikan kepada bar tender atau meminta tolong siapapun untuk melakukannya untuk elu. Padahal ketika sedang meracik kopi itulah lu akan mengenali kopi yang lu suka dengan lebih baik, lebih mengenali diri dan selera tentang kopi itu juga," kata saya.
"setelah ngerasa dia memenuhi list ya sering-sering nanya sama Allah dan tentunya sama diri sendiri. Is he the one you need? Susah buat menjawab pertanyaan itu sementara I don't even know his full name, dalam dunia nyata di luar cerita. Ya pada akhirnya sih cuma bisa kasih suggestion-suggestion kecil, karena yang beneran mengenal dia ya siapa kan?"
"Ya sebisa mungkin make sure he's worth how much it cost. Untuk pilihan yang membuat salah satu dari kalian meninggalkan pekerjaan, kemungkinan besar sih kamu yang mengalah. Apakah dia setimbang dengan semua itu, atau enggak? Itu kan yang mesti dicari tahu sekarang..."
Dia diam.
"Kok gue jadi gloomy ya?"
"gue masih di kantor tau, ini lembur. I belong to this place, jadi sedih gini." emoticon sedih.
Berarti dia sudah tahu dong perasaannya condong kemana?
"Yaudah ngomongin yang lain aja," tutup saya, sebelum aneka emoticon sedih berebutan masuk ke layar ponsel saya.
Nggak cuma teman dekat saya ini aja, sebenarnya kita semua pasti pernah berada dalam posisi ini ya kan? Menghadapi pilihan-pilihan, sudah tahu perasaan condong kemana tapi kita terlalu takut mengambil resiko, takut salah dan beragam ketakutan-ketakutan lain. Kita jadi lebih memilih untuk meyakinkan diri tidak mengikuti perasaan atau justru mengikuti perasaan dengan meminta pendapat beberapa orang yang kita percaya. Ketika itu mungkin sesaat lega, tapi nggak lama kemudian kita kembali ragu dan bertanya-tanya pilihan yang mana yang paling benar. Apakah ini? Apakah resikonya justru jauh lebih besar untuk kita pikul dikemudian hari?
Pada akhirnya orang-orang yang kita tanya memberi masukan yang sesuai dengan sudut pandang mereka. Sementara hidup kita lah yang paling terkena imbas dari semua - apapun keputusan yang kita ambil. Ya kan? Sama sekali bukan mereka.
Ratusan masukan dan saran apapun yang kita dapat, pada akhirnya kitalah - diri kita sendiri inilah faktor penentu utama dari sebuah keputusan yang akan berpengaruh pada hidup kita nantinya.
Seperti meracik kopi untuk diri sendiri sembari berusaha mengenali tiap bagian rasa yang ditawarkan, pahit, manis dan asamnya sekaligus.
Kadang tanpa sadar... Ketika kita minta pendapat kalo ke orang yang gak bener kenal kita... ya endingnya malah bikin makin ruwet... hehehe.
ReplyDeleteTet....asal nebak aja, BNI bukan sik nyinnn yang nda buleh suami istri satu kantor, eaaa #tebak2 buah manggis
ReplyDeleteatuh kalau seperti itumah berarti dianya belum siap kali,,, bimbang kayak anak abege seperti saya,,, saat Saaya tertarik sama chelsea island,, saya masih nanya2 dulu sama orang tentang ini dan itu,,, pdahal kalau yakin dari lubuk hati yang terdalam,,, yah udah tinggal hajar,,, harus mau ambil resiko sepedih apapun itu,, termasuk kemungkinan cinta tak terbalas... :v
ReplyDeleteIni banget kak Ninda... :') Kadang aku juga suka bertanya-tanya sendiri dengan beberapa keputusan yang dulu pernah aku ambil dan kadang jadi kepikiran sendiri kenapa engga mencoba berusaha lebih baik... Kalau masalah perasaan emang sering banget bikin baper dan galau sendiri ya.. hahaha :')
ReplyDeleteSerumit-rumitnya mshl dunia, bila disandarkan kpd agama, inshaAllah semua akan selesai.
ReplyDeleteJadi perasaannya berbalas ga?
ReplyDelete