Dalam sebuah kesempatan bertemu seorang teman dan mengobrol, dia cerita tentang seseorang yang sama-sama kami kenal. Kabar terbaru dari seseorang ini, dia sedang sakit dan sakit yang dideritanya termasuk sakit parah. Jenis sakit yang kelewat sering muncul di drama, sinetron dan film. Biasanya penderitanya divonis dengan sisa usia yang tidak lagi lama.
"Duh kasihan ya," kata dia, sambil scroll timeline social media, "she's really sick,"
"maksudnya?"
"Aduh nggak kebayang kan punya sakit kayak gitu. Pastinya berasa tinggal menghitung hari menuju the day," dia menatap layar ponselnya kemudian menghempaskan diri ke sandaran kursi, "pasti bingung banget gue kalau kayak dia. Bingung milih apa yang gue lakukan duluan buat menghabiskan sisa umur yang ada. Terlalu banyak impian dan keinginan, terus bakalan ibadah kayak apaan tau deh... mungkin gue bakal jalanin semua sholat sunnah dan banyakin sunnah juga,"
"Iya sih...," saya mengangguk-angguk, saya memang nggak kenal dekat orangnya, tapi sejauh yang saya tahu dia baik dan nggak macem-macem. "Tapi kalau dia bisa bersabar, sakitnya justru akan jadi penggugur dosa. Dan belum tentu lho umurnya tinggal sebentar, prediksi umur kan yang bikin manusia, jadi bisa banget salah. Hidup mati kita kan di tangan Allah,"
"Lagian...," saya mengaduk minuman, dia mendongak menatap saya dari layar ponsel, "mungkin nih.. mungkin ya... justru dia mendapat apa yang lebih baik ketimbang kita. Sakitnya bisa menjadi penggugur dosa dan paling tidak dia sudah duluan aware akan masa depan dan mempersiapkan diri sebaik mungkin ya kan?"
"kita mungkin justru lebih mengenaskan dari dia karena abai dengan kesehatan fisik yang kita punya saat ini, maka kita merasa bakalan hidup sampai tua. Meninggal waktu tua di tengah keluarga yang hangat... seperti halnya versi ideal dari kematian di mata banyak orang. Padahal who knows? Kita memang sehat-sehat saja hari ini dan dia sedang sakit yang nggak ringan. Bukan berarti dia yang Allah panggil duluan, bisa jadi kita yang sehat-sehat saja ini sekarang yang duluan,"
"kita yang nggak bisa memperkirakan apa-apa dimasa depan, kita yang mengabaikan banyak hal termasuk persiapan perjalanan berikutnya. Kita yang bekalnya nggak banyak-banyak amat dan sudah telanjur menganggap jatah hidup masih lama malah mungkin besok atau lusa atau sekian hari lagi justru yang duluan mengisi kavling kubur daripada dia."
Dia mengangguk setuju, "Subhanallah... kok gue jadi takut ya?" kata dia, matanya beralih keluar jendela, pada lalu lalang orang yang padat saat weekend.
"Me too," saya menimpali.
"secara bekal masih ala-ala begini,"
"Iya sih...," saya mengangguk-angguk, saya memang nggak kenal dekat orangnya, tapi sejauh yang saya tahu dia baik dan nggak macem-macem. "Tapi kalau dia bisa bersabar, sakitnya justru akan jadi penggugur dosa. Dan belum tentu lho umurnya tinggal sebentar, prediksi umur kan yang bikin manusia, jadi bisa banget salah. Hidup mati kita kan di tangan Allah,"
"Lagian...," saya mengaduk minuman, dia mendongak menatap saya dari layar ponsel, "mungkin nih.. mungkin ya... justru dia mendapat apa yang lebih baik ketimbang kita. Sakitnya bisa menjadi penggugur dosa dan paling tidak dia sudah duluan aware akan masa depan dan mempersiapkan diri sebaik mungkin ya kan?"
"kita mungkin justru lebih mengenaskan dari dia karena abai dengan kesehatan fisik yang kita punya saat ini, maka kita merasa bakalan hidup sampai tua. Meninggal waktu tua di tengah keluarga yang hangat... seperti halnya versi ideal dari kematian di mata banyak orang. Padahal who knows? Kita memang sehat-sehat saja hari ini dan dia sedang sakit yang nggak ringan. Bukan berarti dia yang Allah panggil duluan, bisa jadi kita yang sehat-sehat saja ini sekarang yang duluan,"
"kita yang nggak bisa memperkirakan apa-apa dimasa depan, kita yang mengabaikan banyak hal termasuk persiapan perjalanan berikutnya. Kita yang bekalnya nggak banyak-banyak amat dan sudah telanjur menganggap jatah hidup masih lama malah mungkin besok atau lusa atau sekian hari lagi justru yang duluan mengisi kavling kubur daripada dia."
Dia mengangguk setuju, "Subhanallah... kok gue jadi takut ya?" kata dia, matanya beralih keluar jendela, pada lalu lalang orang yang padat saat weekend.
"Me too," saya menimpali.
"secara bekal masih ala-ala begini,"
Postingan yang self reminder nih Mbak Ninda. Seringkali aku juga berpikir, sudah cukupkah bekalku menghadapNya?
ReplyDeleteBekal masih begini :| sedangkan hidup yang sebenernya di akhirat sana.
ReplyDeleteKemudian hening...
Allahul musta'an.
Iyah bener nind, belum tentu juga.. Ajal ya kita ngga tau 😠Rahasia Allah
ReplyDeleteSesuatu yang selalu terpikir, terlebih saat merencanakan masa depan anak-anak... Takut g bs mendampingi sampai mereka gedhe
ReplyDeletesetuju Nin.. mungkin benar si teman itu sedang mendapatkan proses pengguguran dosa, yang mungkin tidak kita dapatkan.. huhuhu
ReplyDeleteJadi ikutan khawatir mengenai bekal yang bakal dibawa nanti...
ReplyDeletehm... pelagi popong...
ReplyDeletebekal ke kantor cuma nasi sama telor ceplok hhh...
apalagi jika dihadapkan dengan cerita-cerita kematian yang datang tiba-tiba dari orang yg kita kenal
ReplyDeleteAh itulah nyin, kita yang sehat kalo bisa jangan sampe terlena ya, cz umur nda ada yang tau
ReplyDeleteKapan kita berpulang emang nggak bisa ditebak, ya. Banyak yang tau-tau kejadian secara tiba-tiba. Rahasia banget. Nggak bakal tau kapan datangnya.
ReplyDeleteAh, kita emang seringnya kalo udah dikasih ujian dulu baru sadar. Kalo enggak, sering banget lalai deh :(
Dan iya bener.. Setuju. Kita mengasihani yang sakit itu doang, padahal sebenarnya kita juga kasihan, karena kita bisa jadi keasikan sendiri aja sama dunia.
Tak ada yg bs memprediksi batas usia masing2. Smg Allah mngkaruniakan kita usia yg berkah. Aamiin.
ReplyDelete