Mungkin teman-teman sama seringnya dengan saya dalam menghadapi pertanyaan serupa dan apa jawaban teman-teman ketika ditanyai begini? Jawaban standar saya biasanya adalah agar tidak bosan di rumah. Meskipun sebenarnya ini hanyalah satu dari sekian banyak alasan yang saya miliki kenapa akhirnya saya tetap memutuskan bekerja.
Terkadang kita semua terutama saya juga pasti menyukai kondisi idle dan menganggapnya liburan. Liburan memang penting untuk merefresh otak dan mengistirahatkan pikiran, namun berbeda halnya jika waktu liburan itu kita jalankan terus-menerus.
Saya bukanlah ahli menganggur yang baik. Jika memang bisa bermalasan seharian, saya tidak bisa melakukannya terus-terusan. Akan ada yang terasa salah dengan ini dan saya juga bisa merasakan ketidaknyamanan dengan aktivitas monoton yang terlalu banyak melibatkan bersantai. Bersantai, ketika menjadi kebiasaan dan rutinitas ternyata juga tidak menyenangkan bagi saya, maupun bagi kebanyakan orang... waktu berasa berlalu dengan cepat dan kita kehilangan banyak dengan menyiakannya tanpa melakukan apapun. Memang pengecualian jika orang tersebut memang pada dasarnya males sih...
"Nin, pekerjaan rumah tangga itu banyak banget dan nggak ada habisnya loh...," kata teman saya, seorang IRT yang produktif banget dalam mengurus rumah, bebikinan menu-menu kue dan camilan setiap hari, beresin interior rumah dan so on.
Saya tahu sih, tapi tetep saja dalam beberapa hal ada perbedaan. Selain karena anggota keluarga kami baru hanya ada saya dan suami jadi pekerjaan rumah tangga nggak sebanyak itu, belum lagi urusan psikis saya sendiri. Ada yang terasa kurang, ada sesuatu dalam diri yang dari mulai mengetuk sampai menggedor terus 'dia' lakukan untuk memperoleh tempat yang semestinya. Dan itu nggak akan bikin saya ngerasa nyaman sebelum mengelola hal itu dengan cara-cara yang saya rasa benar. Hal yang mengganggu saya dari dalam itu adalah ide-ide di kepala, potensi dan kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Ya, alasan kedua adalah tentang mengenai aktualisasi diri.
Menurut saya pribadi aktualisasi diri adalah pencapaian yang harus dilakukan dalam bentuk personal, tidak related dengan dengan pencapaian orang lain meskipun orang lain itu adalah keluarga kita, iya bahkan suami sekalipun. Sering banget saya dengar dialog yang kayaknya umum banget dimana-mana antara para wanita yang dalam suatu hal mereka mengalami kegagalan dalam cita-cita yang mereka punya, mereka kemudian menghibur diri dengan kalimat bahwa tidak apa jika mereka tidak mencapai sebuah pekerjaan yang menjadi keinginan mereka itu. Mereka akan jadi istri dari lelaki yang menjalani pekerjaan yang sudah lama menjadi cita-cita mereka sebagai gantinya.
Menjadi pasangan hidup dari siapapun bahkan menjadi orang tua dari anak yang sehebat apapun menurut saya bukan bagian dari aktualisasi diri. Namun lebih kepada peran supportive kita sebagai pasangan dan orang tua. Menjadi pasangan dan orang tua yang baik memang harus ditempuh dan memiliki pencapaian subjektif. Namun, pencapaian personal dan aktualisasi diri menurut saya terlepas dari itu.
Pencapaian personal dan aktualisasi diri, dalam pendapat saya adalah tentang kebermanfaatan bagi ummat. Give back to community or anything related with that. Aktualisasi diri adalah peran kita dalam masyarakat, seberapa banyak kita mampu memberikan manfaat kepada masyarakat. Seberapa besar niat kita untuk berkontribusi.
Aktualisasi diri adalah berkaitan dengan hal-hal seperti ini.
Dan give back to community ini tidak harus dengan cara bekerja. Kita bisa berperan aktif dan penting dalam masyarakat meskipun tidak bekerja dan tidak melakukan kegiatan apapun yang berhubungan dengan materi. Contohnya banyak, menjadi sukarelawan dalam berbagai kegiatan sosial, berperan dalam edukasi masyarakat meskipun dalam hal-hal kecil.
Ada teman saya yang disela waktu-waktu kesibukannya dan energi positifnya yang kuat meluangkan waktu untuk menjadi pengajar sukarela bagi anak-anak yang kurang mampu. Ada teman saya yang lain, seorang ibu rumah tangga full time, jarang sekali curhat tentang anak-anaknya tapi sekali baca tulisan sharingnya saya merasa tulisannya sangat bermanfaat untuk membuka pola pikir kita para wanita tentang pendidikan anak prasekolah. Tips parenting yang applicable dan costless tapi sangat bermanfaat. Tentang perbedaan pola pikir dan karakter anak meskipun diasuh dengan pola asuh yang sama persis.
Alasan ketiga adalah alasan yang paling kuat sebenarnya, bahwa meskipun sebagai wanita saya tidak ingin kemampuan financial saya sepenuhnya saya gantungkan pada orang lain. Baik orang tua, suami atau mungkin anak. Selain karena pola asuh yang saya terima sejak dini tentang pentingnya kemandirian financial bagi seorang wanita, saya pernah mengikuti sebuah event beberapa bulan lalu yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.
Event itu sedikit banyak lebih membuka pola pikir saya mengenai pengelolaan keuangan, bahwa kita tidak hanya bertanggung jawab pada keuangan kita saat ini namun juga di masa depan, saat masa tua dan pensiun. Memang sebagai seorang freelancer, tidak ada yang menjaminkan dana pensiun saya ketika sudah tidak bekerja lagi nanti. Karena itu dana pensiun juga sesuatu yang harus direncanakan sendiri, tidak terbatas pada para freelancer saja tapi juga ibu rumah tangga full time
Mengapa ibu rumah tangga kan ibu rumah tangga nggak ada pendapatan?
Ibu rumah tangga tidak punya pendapatan? Salah banget, justru sangat punya karena memang kebanyakan ibu rumah tangga juga adalah bendahara yang memegang dan mengatur keuangan keluarga. Karena aksesnya yang besar pada keuangan keluarga, ibu rumah tangga bisa membuat pos-pos penting pengeluaran dan tabungan. Seperti tabungan pendidikan anak contohnya, nah nggak ada salahnya kalau direncanakan juga tabungan pensiun. Meskipun suami mungkin nanti akan keluar dana pensiunnya dari kantor/lembaga tempatnya bekerja. Alokasi untuk investasi menurut saya juga merupakan bagian dari tabungan persiapan pensiun.
Mengapa kita harus merencanakan keuangan kita untuk kondisi pensiun?
Ini alasannya:
#1 Kita harus mempersiapkan diri pada kemungkinan terburuk
Apa saja kemungkinan terburuk itu? Bisa jadi suami sebagai tulang punggung keluarga sakit sementara kita harus merawatnya. Ada pengeluaran uang ekstra untuk pengobatan sementara kehidupan rumah tangga harus tetap stabil. Seluruh anggota keluarga harus makan dengan cukup dan melanjutkan hidup seperti biasanya.
Bisa jadi juga suami sebagai tulang punggung keluarga sudah tiada. Entah karena sebab seperti kasus orang ketiga yang sampai saat ini menjadi perbincangan ramai para netizen, perceraian lantas sudah tidak mau menafkahi, maupun karena lebih dulu dipanggil Allah. Sementara dana pensiun yang kita terima (untuk kasus ketiga) belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau malah sama sekali tidak ada (untuk kasus pertama dan kedua).
#2 Sudah kewajiban kita untuk membesarkan anak dan memberikan pendidikan terbaik, bukan untuk menjadikannya generasi sandwich ketika dia sudah memiliki kemampuan financial sendiri
Menjadi generasi sandwich ketika sudah dewasa dan memiliki kemandirian financial paling banyak dialami oleh orang-orang di Indonesia.
Apa sih generasi sandwich ini?
Generasi sandwich adalah generasi yang pengertian sekaligus penuh pengorbanan. Generasi tengah yang tidak hanya memikirkan generasi diatasnya (para orang tua) juga memikirkan generasi dibawahnya (anak-anak). Mereka mendukung kebutuhan financial dari dua generasi sehingga mungkin hampir tidak memiliki situasi financial yang memungkinkan untuk keinginan mereka sendiri.
Banyak sekali terjadi dalam masyarakat kita situasi maupun anggapan para orang tua bahwa anak adalah investasi di masa depan. Orang tua bersikeras untuk memberikan pendidikan dan fasilitas terbaik tanpa mempedulikan situasi keuangannya sendiri, hingga berhutang kanan kiri demi menunjang si anak hingga memiliki pekerjaan dan kemandirian secara ekonomi.
Akibatnya ketika anak tersebut sudah mandiri dan memiliki pekerjaan yang baik sementara orang tua sudah menurun produktivitas kerjanya, dia masih harus memikirkan tentang hutang orang tuanya di masa lalu, ketercukupan keuangan dan kebutuhan orang tuanya, dana kesehatan orang tua dan sebagainya. Setelah agak lama bekerja, kebutuhannya sebagai individu untuk membentuk keluarga juga memasukkan daftar prioritas baru yaitu nafkah untuk istri dan anaknya.
Saya nggak akan lupa ada seorang partisipan event yang mencurahkan isi hatinya bahwa setiap bulannya dia hampir tidak memiliki sisa uang dari gaji bulanan yang dia punya karena sebagian besar harus dialokasikan pada orang tuanya. Dia paham sebagai seorang anak memang itulah tanda baktinya untuk orang tua, namun dia pun tidak mengingkari bahwa dia sendiri juga memiliki kebutuhan untuk dipenuhi dengan uang gajinya. Terlebih jika berumah tangga dan memiliki anak, maka daftar kebutuhan itu akan bertambah panjang saja. Belum apa-apa dia sudah bingung bagaimana memenuhi semuanya.
Sebagai istri dan sebagai orang tua, situasi financial bisa jadi adalah awal dari perpecahan serta ketidakharmonisan keluarga. Nggak jarang case yang kita temui di dunia nyata, para istri yang meninggalkan suaminya untuk menikah dengan laki-laki lain karena suaminya memiliki keterbatasan seperti sakit dan kendala perekonomian lainnya yang sebenarnya bukan mau suaminya juga. Bukan karena si suami tidak mau bekerja keras, namun karena ada keterbatasan fisik atau sudah berusaha sebaik mungkin tapi bagi istri masih terasa kurang dari layak.
Banyak juga case tentang konflik rumah tangga karena suami tidak menafkahi rumah tangga dengan baik karena sebagian besar penghasilannya diminta oleh orang tua dan saudara kandungnya sehingga istri dan anaknya hanya mendapatkan sisa dari penghasilan si suami ini. Padahal adalah kewajiban seorang suami untuk menafkahi istri dan anaknya bukan? Saya paham bahwa sebagai istri maka kita tidak boleh menghalangi bakti suami kepada orang tuanya, namun saya rasa sebagai orang tua kita tidak boleh menjadi beban bagi anak kita.
Tentu kita juga sudah tahu bahwa stress sudah menjangkiti sebagian besar usia produktif, selain karena tekanan pekerjaan dan kesibukan, lepas dari jam kerja mereka juga masih harus berhadapan dengan kewajiban-kewajiban financial yang bisa jadi membuat mereka tidak sempat meluangkan waktu untuk melonggarkan beban psikisnya sejenak dengan berlibur atau sejenisnya. Mungkin ini tidak akan menjadi masalah jika penghasilannya jauh lebih besar dari semua anggaran yang harus dia keluarkan, namun bagaimana kalau sangat pas-pasan bahkan kurang?
Meskipun kalau kita pikir lagi jika penghasilan seseorang relatif besar, maka pengeluarannya juga ikut bertambah besar ya kan?
Seperti contoh seorang kenalan saya yang menikah dengan suami yang secara financial paling kuat di keluarga intinya. Adik pertama suaminya (laki-laki) bekerja namun berpenghasilan kecil, adik kedua (perempuan) tidak bekerja dan ibunya adalah janda yang tidak bekerja juga. Ketika mereka menikah, kenalan saya ini kaget karena biaya hidup mereka yang besar. Dia bisa mengerti dengan suaminya yang setiap bulannya menafkahi ibu dan adiknya namun tidak mengerti dengan gaya hidup yang juga tidak mengenal penyesuaian, terutama dari adik perempuan suaminya. Adik perempuannya memiliki anggaran beli per pcs baju senilai 1 juta rupiah dan perawatan wajah di klinik kecantikan yang dalam setiap bulan budgetnya cukup lumayan. Padahal dia tidak bekerja. Belum lagi ketika mengetahui bahwa si adik pertama ponselnya rusak, ibu mertua dengan tanpa berpikir panjang langsung meminta kenalan saya untuk membelikan ponsel baru yang bagus.
Pada awalnya mungkin dia hanya bisa membatin karena toh dia juga bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, namun ketika kebutuhan semakin tinggi dengan biaya pendidikan anak-anak, maka kenalan saya ini jadi kesal sendiri. Cuma mau menegur juga dia bingung harus mulai darimana karena situasi ini sudah berjalan demikian lama. Sekali dua kali dia sudah mencoba menyampaikan tapi malah berujung ke perdebatan yang bikin lelah. Jatuhnya dia jadi sering badmood sendiri karena harus pontang-panting memenuhi kebutuhan keluarga untuk menutupi kekurangan nafkah suaminya. Padahal penghasilan suaminya sangat lumayan tapi untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah serba tidak memadai.
Dari situasi ini, suaminya tidak hanya generasi sandwich, namun bigmac yang harus menanggung beban bertumpuk-tumpuk.
Dan pertanyaannya adalah apakah kita saat ini hendak memposisikan rumah tangga anak-anak kita dalam masalah seperti itu? Seharusnya sebagai orang tua, rumah tangga anak yang berjalan harmonis adalah sesuatu yang selalu kita selipkan dalam do'a kita. Jangan sampai sebagai orang tua kita menjadi tidak pengertian dan malah menjadi duri dalam daging rumah tangga anak kita, menyebabkan konflik antara suami istri karena membuat rumah tangga mereka kekurangan dana dengan pemenuhan kebutuhan serta life style kita itu. Sadar atau tidak kita mengambil hak mereka dengan tanpa ampun.
Ketika anak memberikan sebagian dari penghasilannya kepada kita sebagai hadiah, biarlah itu menjadi hadiah yang besarannya tergantung situasi financial si anak. Bersifat tidak memaksa, tidak wajib akan nominal dan seberapa sering diberikan. Namun jika tidak pun tidak apa-apa karena kita sudah memiliki tabungan sendiri untuk mencukupi kebutuhan kita di masa tua saat sudah tidak bekerja.
Sementara jika memang sangat terpaksa dan kita harus menjadi pertanggungan anak, hendaklah kita paham seperti apa posisi kita. Cukuplah minta apa yang benar-benar dibutuhkan, tanpa meminta ini itu hanya karena soal tuntutan sosial dan terlalu peduli apa kata orang. Karena jika dengan tanpa mempertimbangkan itu sadarkah kita bahwa kita telah mengambil hak seorang cucu untuk pendidikan yang lebih baik dan fasilitas yang lebih nenunjang untuk meraih cita-citanya?
Event yang digawangi salah satu produk instrumen keuangan dan investasi itu tidak berhasil menarik minat saya untuk menanamkan investasi, namun manfaat yang dibagi narasumber pengelolaan investasi dan persiapan dana di masa depan itu mampu memberi gambaran utuh di kepala saya bahwa kita harus mempersiapkan diri dalam situasi tersulit. Tidak bisa begitu saja menggampangkan, kalau nggak punya uang dalam urusan rumah tangga ya minta suami, ya minta orang tua, ya nanti kalau anak sukses minta dong sama anak. Yah apa nggak kasihan sama orang tua yang sudah repot mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk pendidikan kita kalau ujung-ujungnya dalam situasi yang tidak darurat pun kita sudah merasa harus meminta bantuan mereka secara financial.
Meninggalkan suami ketika kesulitan keuangan untuk menikah lagi adalah bukan pemecahan masalah, justru ini berpeluang membawa kita sebagai wanita ke masalah demi masalah lain yang sama rumitnya. Dan anak adalah kewajiban kita untuk mendidik, membesarkan dan memberikan yang terbaik, bukan sebagai bagian dari investasi finansial masa tua.
Selagi berpenghasilan sendiri bagi yang bekerja, apapun pekerjaannya dan berapapun penghasilannya. Selagi nafkah dari suami masih cukup bahkan lebih untuk full time IRT, sudah saatnya kita mengalokasikan untuk pos-pos pengelolaan keuangan yang lebih baik. Bisa diinvestasikan langsung maupun ditabung dulu hingga jumlahnya dirasa cukup untuk berinvestasi dan memiliki pendapatan pasif, untuk membangun kos-kosan misalnya. Jangan melulu dihabiskan untuk pengeluaran konsumtif apapun situasinya, akan lebih bijak kalau kita menyisihkan dana untuk hari tua kita di masa mendatang. Demi terjaminnya kualitas hidup yang lebih baik untuk generasi sesudah kita nantinya.
So that's what I thought, in my humble opinion :)
bener banget kak ninda, perempuan juga harus mandiri secara finacial juga apalagi dijaman sekarang ini. Apalagi sekarang sering kali ada aja pengeluaran yang tidak terduga yang kadang datang.
ReplyDeleteiya fizi, kemandirian secara financial sangat diperlukan disituasi2 tidak terduga. tidak harus dgn bekerja, kemandirian financial banyak caranya meskipun breadwinner tetap hanya satu
Deleteoh jadi gitu yah mbak, pantesan temen2 perempuan saya sudah nikah tapi masih kerja,, kirain alesannya karena kondisi keuangan suaminya menderita :D jhahaha..
ReplyDeletemungkin emang perempuan juga perlu mandiri secara finacial juga, yang penting kerjanya gak menyalahi kodratnya sebagai wanita, kalau sayamah mungkin, pengenya perempuan kagak usah kerja, kalau saya mampumah,,, tapi tidak tahu juga sih bagaimana idealnya porsi seorang istri untuk suaminya,
yang perlu digaris bawahi disini adalah, kemandirian financial itu berbeda maksudnya dengan bekerja
Deletemeskipun bekerja berarti juga mandiri secara financial, namun sebaliknya wanita yang mandiri secara financial belum tentu wanita bekerja :)
seorang istri meskipun tidak bekerja harus mandiri secara financial dlm artian punya rencana jangka panjang terkait kondisi keuangan keluarganya, merencanakan aspek kondisi tidak terduga dan pos tabungan untuk hari tua juga bukan hanya situasi keuangan saat ini saja. begitu mas :)
terkait istri bekerja atau tidak itu adalah keputusan yg menjadi hak masing2 pasangan, terkadang suami menghendaki istrinya bekerja sebagai partner bisnis karena dgn begitu dia bakalan lbh sering bareng istrinya, misalnya saat business trip ketimbang harus pisah dan meninggalkan istrinya di rumah. teman saya ada yg seperti ini soalnya :)
Mamanya murid saya ada yang suaminya bisnis rumah, kerja di bank, bisnis mobil, dan bahkan direktur di sebuah departemen. Tapi mereka tetap punya penghasilan, baik yang di rumah maupun luar rumah. Selain jadi punya uang sendiri, keinginan untuk berkarya juga sih. Dan kalaupun memang memilih untuk jadi full ibu rumah tangga, ini pun juga pilihan yang membahagiakan.
ReplyDeletewah senang sekali kalau kondisi financial saat ini bagus dan persiapan mendatangnya juga sudah memadai ya mbak ^^
Deletenamun menjadi full ibu rumah tangga ataupun bekerja adalah sama-sama keputusan yang baik, saya tidak ingin mempertentangkan itu karena dalam setiap keputusan dlm rumah tangga ada kesepakatan dan keridhoan masing2 pasangan ^^
yg saya tekankan disini adalah pengelolaan keuangannya. seringnya para istri/ibu sangat sadar pada pentingnya pos tabungan untuk pendidikan anak atau peningkatan kualitas hidup yg lebih baik tapi masih jarang yg memiliki kesadaran terkait pentingnya tabungan hari tua atau asset maupun investasi yang sanggup membiayai hidup mereka secara mandiri meskipun tidak bisa bekerja dan berpenghasilan lagi^^
Tidak bisa lebih setuju dengan tulisan ini :)
ReplyDeleteDaridulu umik juga sudha wanti-wanti, bagaimanapun keadaan rumah tangga anak-anak perempuannya (jika memang mampu) harus punya pendapatan sendiri. Bukan karena meremehkan suami atau harus menjadi lebih kaya, tidak. Tapi jaga-jaga. Tidak pernah tahu di masa depan seperti apa, tapi kalau ada apa-apa setidaknya ada sokongan. Begitu sih.
iya benar Zahrah ^^ meskipun memang semua itu tergantung pada kesepakatan dan keridhoan masing2 pasangan dalam rumah tangga sih.
Deletenah penting untuk ngomongin ini ketika pria dan wanita sedang menuju jalan pernikahan, jangan sampai sudah nikah serba kaget dan malah merasa terpaksa ridho satu dengan lainnya :)
kenapa ya? karena jaman now wanita harus serba bisa macem dewa apa itu yang banyak tangannya.
ReplyDelete