Nenek saya meninggal bukan karena sakit parah, dan memang demikianlah apa yang selama ini beliau inginkan.
Nenek saya pernah bilang jika sudah waktunya meninggal nanti, beliau ingin meninggal dalam kondisi yang tidak merepotkan semua anak-anaknya. Bukan karena sakit-sakitan dan hal-hal lain yang sekiranya akan membebani mereka.
Dulu saat mendengarkan ucapannya itu, usia saya masih sangat muda, sehingga masih naif menilai arti sebuah kematian. Mungkin karena dulu kematian belum pernah menyentuh lingkaran keluarga saya yang paling dekat.
Nenek dan kakek saya nampak sehat-sehat saja, maka saya merasa mereka akan berumur panjang. Kurang lebih perkiraannya sampai saya sendiri sudah cukup tua. Seperti halnya tante dari nenek saya yang usianya entah mungkin sudah berapa saat itu, namun tidak mengalami masalah kesehatan yang serius seperti halnya orang tua lain seumurnya.
Saya pikir dulu kakek dan nenek saya akan begitu juga, hidup lama dan berumur panjang.
Sampai kemudian diluar perkiraan siapapun, ujung usia nenek saya datang.
Saat itu, ketika menatap wajah nenek saya yang nampak tenang diantara isakan tangis ibu dan tante saya, saya memahami sedikit bagian dari hakikat sebuah kematian. Kematian datang disaat yang mungkin paling tidak kita kira, pada waktu yang tidak bisa kita sangka dan prediksi.
Tante saya menangis keras, merasa nenek saya begitu cepat dan mudahnya meninggalkan mereka. Tante saya mengeluh dan menyesali banyak hal. Atas waktu yang habis untuk sibuk bekerja dan mengurus keluarga kecilnya sehingga tidak memiliki banyak kesempatan untuk merawat orang tua. Kakek yang mengingatkan semua orang bahwa tidak boleh ada air mata yang menetes ke jenazah nenek dan memberatkan kepergiannya, serta ibu yang heran atas reaksi saya.
Saya terdiam menatap jenazah nenek tanpa ekspresi, masih susah mencerna realita. Tanpa air mata, tanpa mengeluh apapun. Menyadari betapa terlalu besarnya harapan saya bahwa nenek masih akan ada saat saya lulus kuliah dan bekerja. Menghibur saya dengan pijatan kecil di ranjang mungil tempat masa kanak-kanak saya tidur dengan beliau sebelum ranjang itu terlalu kecil untuk menampung kaki saya yang panjang. Memijat atau mengoleskan balsem ke punggung setiap saya tidak bisa tidur karena terlalu lelah atau karena terlalu banyak berpikir.
Dalam malam-malam hujan deras yang senyap karena jarangnya jumlah tetangga, nenek saya bercerita tentang dongeng turun temurun dan kadang kisahnya sendiri. Kadang bertema horor karena beberapa kali beliau bertemu dengan sosok menakutkan, atau tentang masa kecilnya yang harus menikah muda saat masih berumur kira-kira 10 tahun dan pernikahan itu cukup heboh karena saat hajatan beliau menangis lantaran lapar.
Hal-hal yang cukup banyak juga saya ingat karena sudah erat menjadi bagian dari masa kecil saya.
Tante yang menyuruh saya dekat-dekat dengan jenazah karena menurutnya sayalah cucu yang paling nenek saya sayangi. Mengingat saya yang paling banyak menghabiskan masa kecil dan sekolah dasar saya bersama beliau. Saya juga selalu meluangkan waktu setelah beranjak remaja bahkan setelah kuliah di luar kota untuk menjenguk kakek dan nenek dibanding cucu yang lain.
Saya ingat apa yang ibu saya tanyakan ketika melihat ekspresi saya, "Kenapa kamu tidak menangis?"
Saat itu saya tidak menjawab apa-apa dan tidak tahu harus bagaimana. Merasa masih sibuk mencerna apa yang sedang berlangsung.
Menurut saya tidak ada yang harus saya sedihkan ketika saya melihat bagaimana nampaknya jenazah nenek, meninggal dalam kondisi baik dan maksud baik juga, hendak mengambil wudhu untuk sholat. InsyaAllah nenek saya husnul khotimah. Tidak ada yang perlu saya sedihkan selain tidak adanya beliau di masa depan, dan itu tentu saja merupakan bentuk dari keegoisan saya.
Dalam usia ini, saya merasa mungkin itulah yang terbaik. Benar bahwa orang yang sudah tua, fisik dan ingatannya yang melemah akan mempersulit gerak, sementara sudah tidak ada banyak keinginan dan harapan pencapaian lagi terhadap hidup ini. Terlebih nenek saya meninggal sesuai kondisi yang selama ini dia bicarakan. Meninggal dengan tenang tanpa merepotkan anak-anaknya.
Saat ini pada akhirnya saya jadi paham. Bahwa meskipun kata orang yang terbaik adalah menjadi tua dan memiliki banyak amal ibadah daripada mati muda, namun semakin lama jatah usia kita untuk hidup berarti makin banyak hal baik yang kita lakukan, tapi tentu banyak hal kurang baik juga yang kita jalani sadar ataupun tidak. Contoh, berselancar di dunia maya untuk sesaat saja menuntun kita untuk membaca issue yang simpang siur tentang seseorang yang tidak kita kenal. Bisa jadi hanya fitnah meskipun bisa jadi juga benar.
Semakin panjang usia kita bukan hanya memperbesar kemungkinan kita menambah pahala, tapi juga memperbanyak kesempatan bagi kita untuk menjalankan hal-hal yang tidak Allah sukai. Jangan lupa bahwa hal-hal yang kurang atau tidak Allah sukai fitrahnya lebih ringan bahkan menarik untuk dijalani ketimbang yang sebaliknya.
Semakin tua, kita akan semakin mampu untuk berkaca dan mulai menyadari itu. Termasuk sedikit kenyataan dari penggalan pemikiran Soe Hok Gie yang dibacakan Nicholas Saputra diakhir film Gie, bahwa orang yang paling beruntung adalah orang yang tidak dilahirkan, kedua orang yang mati muda dan terakhir adalah orang yang meninggal di usia tua.
Banyaknya hal-hal yang satu persatu saya pahami membuat saya merasa bahwa saya pun menginginkan kematian yang sama dengan yang nenek saya dulu mau. Kematian yang husnul khotimah, yang baik dan tidak merepotkan orang lain dalam prosesnya baik dari segi tenaga maupun biaya meskipun dalam lingkup paling dekat yaitu keluarga.
Ya, pada akhirnya kita hidup untuk mati dan untuk mempersiapkan kematian itu sendiri.
Saat ini saya juga punya nenek yg paling dekat di antara semua keluarga. Nenek selalu cari saya dan minta untuk berkunjung sesering mungkin. Kadang sedih melihat beliau di mana dulu badannya gemuk sekarang hanya tinggal tulang keliatan. Sebagai cucu, saya ingin mengucurkan air mata. Banyak hal yg nenek minta masih belum bisa saya penuhi.
ReplyDelete