Meskipun sudah tidak lagi musim hujan, bulan Juli terasa amat muram. Berita kematian dikumandangkan di pengeras suara masjid, dari yang sebelumnya berita duka berkumandang sangat jarang, dalam minggu berjalan ini sudah 3 kali disiarkan.
Kemarin lusa tetangga jarak sekian rumah, kemarin RW tetangga, hari ini satu blok. Muram saya mendengar semua itu di siang hari, di tengah kesibukan bekerja dalam ruang kerja kecil saya yang padat.
Kabar datang seolah-olah kita hanya menunggu giliran, atau menunggu kabar yang lebih buruk datang. Masih jelas teringat masa-masa virus SARS, flu babi, flu burung dan yang lainnya menyapa. Kabar berita di televisi seolah jauh dari jangkauan. Segalanya berjalan seperti biasa, negara kita tidak banyak terpengaruh.
Mendadak teringat adegan dalam salah satu seri film Harry Potter, ketika Ron Weasley berkalung radio yang terus menerus memberitakan kematian para penyihir. Wajahnya muram ketika satu persatu orang yang dia kenal diberitakan meninggal seraya berharap minimal keluarganya baik-baik saja.
Dalam 30 tahun hidup saya, saya masih tidak menyangka mengalami momentum ini. Ketika fasilitas kesehatan kolaps, tidak mampu menangani sedemikian banyak orang sakit. Ketika kondisi sudah sedemikian bahaya, tapi masih ada banyak hoax dan propaganda mengalir melalui jejaring sosial dan komunikasi, masih mempercayai bahwa virus ini hanya konspirasi. Bahkan juga menyebarkan apa yang dipercayai pikirannya terkait virus hanya isu yang dibuat-buat atau ada juga yang menyebarkan berita bahwa COVID memang ada, namun tidak sebahaya yang diberitakan. Membuat banyak orang lain ikut percaya.
Entah mana yang harus lebih dikhawatirkan, negara ini lumpuh oleh virus ataukah oleh kebodohan.
Saya juga melihat beberapa area sampai melarang masuk pemulung dan pedagang, sesuatu yang cukup saya sayangkan. Selain karena saya rutin sengaja memilah dan memisahkan sampah untuk diangkut pemulung juga karena kebanyakan pemulung dan pedagang justru mau berusaha taat aturan. Mereka mau pakai masker meskipun seadanya sesuai dengan kemampuan mereka, yang pakai masker tapi hidungnya keluar atau yang tidak pakai malah banyak yang dari kalangan masyarakat menengah ke atas. Tetangga-tetangga satu komplek contohnya.
Ini bukan salah orang yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah atau berbelanja membeli bahan makanan, karena pemerintah masih belum mampu memberi bantuan kebutuhan semua warganya agar tidak kelaparan dan tetap hidup. Tidak pula ada orang sekaya apapun yang mampu memikul beban jaminan hidup semua orang tanpa batas waktu. Kondisi ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Mengapa melarang pemulung dan pedagang padahal warung-warung kopi yang bertebaran masih super ramai dikunjungi pembeli yang nongkrong dan berkumpul berjam-jam? Beberapa kali saya harus keluar kota karena keperluan pekerjaan, sebagai usaha demi menjaga penghasilan kami tetap mencukupi selama pandemi. Dalam perjalanan, tentu saja kebutuhan makan kami jadi dine-in di luar rumah minimal sekali dalam satu kali perjalanan karena kebanyakan hotel menutup fasilitas sarapan untuk menghindari kerumunan dan mungkin juga untuk menghemat biaya.
Memang serba salah mengomentari kondisi yang sulit ini. Semua orang juga mau sehat dan tentunya tidak kelaparan.
Melarang orang tua satu-satunya yang sudah pensiun dan memiliki bisnis yang bisa dijalankan dari rumah dengan santai untuk tidak keluar rumah seharusnya saya mampu, tapi kaget sendiri ketika baru saja berbalas pesan dan orang tua saya bilang baru menyinggahi 2 acara pemakaman temannya. Yang berarti saya tidak mampu melarang beliau dan hanya mampu mengulang mengingatkan saja.
Berita duka di siang bolong yang sendu baru saja berlalu.
Namun tidak sampai lima menit setelah itu anak-anak kecil berlarian, mengobrol, bermain sepeda, berlomba lari. Saya intip dari ruang kerja, mereka sama sekali tidak memakai masker. Hanya ada beberapa saja yang tetap memakai. Saya menghela nafas, sekolah diliburkan tapi anak-anak malah seolah tidak terkontrol. Saya juga teringat opini orang yang berseliweran di twitter, bahwa warga dengan ekonomi kurang mampu tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan fasilitas agar si anak mampu terhibur di rumah dan nggak keluar main. Ya mungkin memang benar begitu, yang jelas saya tidak mampu berkata-kata saat membaca opini orang tersebut.
Lelah juga membaca komentar netizen tiap ada berita buruk selalu komen, jangan upload yang begini dong bikin imun turun!
Lantas harus bagaimana hey!? Tugas media adalah menyampaikan kebenaran, sepahit apapun kebenaran itu. Jangankan diberitakan, segitu banyak pemakaman COVID tidak membuat orang takut nggak pakai masker kok. Masih saya ingat ketika saya harus pergi keluar kota dan menyambangi kedai kopi lokal yang saya suka hanya karena cabang kedai yang itu disediakan hanya untuk takeaway. Betapa kagetnya saya ketika kedainya sudah lebih besar, jadi cafe cabang. Banyak pengunjung yang rame-rame berkumpul tanpa masker dan semua barista yang stay tidak pakai masker juga. Ilfil, saya kemudian nggak pernah berkunjung lagi kesana meskipun kangen rasa kopinya.
Memang susah mengedukasi dan melarang orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan kita, bahkan melarang anggota keluarga sendiri saja susah.
Entah sampai kapan kondisi ini akan berlangsung, entah kapan bisa berlalu dan jika toh berlalu kita sama-sama tidak bisa menjamin keberadaan kita di dunia. Yang masih sanggup kita lakukan hanya sebaik-baik memanfaatkan waktu yang masih tersisa dan memberi kontribusi hal baik pada masyarakat selagi mampu.
Wes angel ancen nek ngajak atau ngasih tau orang yang menyepelekan. ANak anakku tak suruh diem dierumah aja, berantakan semuanya gak karu-karuan ya gak masalah, yang penting sekarang mereka diem dulu dirumah :D. semoga Anyin dan Keluarga diberi kesehatan ya.. SBY juga lagi rame, jangankan sby, pinggiran aja dah banyak yang + hikz.. Apa kabar ni Anyin, makasih ya dah main kerumahku hehehe
ReplyDeletesehat sehat trus anyin dan suami
ReplyDeletesama nyin di sinipun...tiap ada oengumuman oagi dari toa mesjid langsung deh deg degan ada yang ninggal lagi...hiks...
mana tiap hari mendung pula...
suasananya jadi kelam gini ntah mengapa hiks
Begitu banyak kabar duka bulan ini ya mbak. Saya juga nggak bisa berkata apa-apa, survive tiap hari dan bersabar. Semoga ada jalan ya mbak, semoga lekas pulih.
ReplyDelete